WHAT'S NEW?
Loading...

Kebebasan Mengkritik dan Kebebasan Pribadi

Pada dasarnya, seluruh masyarakat Islam seperti tubuh yang satu, sebagaimana firman Allah, ”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (At-taubah:71)

Dalam berbagai hadits dijelaskan, bahwa diberi hak bagi setiap orang untuk mengkritik pemerintah dan memberikan masukan. Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri, dia berkata, ”Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang melihat kemungkaran di antara kalian maka hendaklah dia mengubah dengan tangannya, jika ia tidak bisa maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak bisa maka ubahlah dengan hatinya, hal yang demikian merupakan selemah-lemahnya iman”(HR. Muslim)

Perundang-undangan Islam memberikan kaum muslimin kebebasan berpolitik, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk selama ia bermaksiat kepada sang Khalik, meskipun ia seorang penguasa atau pemimpin. Hal tersebut diperjelas oleh sikap para Khulafa’ur rasyidin dalam bahasan ini.

Dikisahkan, bahwa Umar bin Abdul Aziz ketika memangku kekhalifahan, mengembalikan segala sesuatu sesuai dengan kadarnya. Ia mengumumkan dimulainya kebebasan berpolitik, dan mendorong terciptanya semangat menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran. Islam bukanlah agama yang rela melihat terjadinya kemungkaran. Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkhutbah di hadapan masyarakat banyak, dia berkata, ”Ingatlah! Tidak ada keselamatan bagi orang yang menentang sunnah, dan tidak ada ketaatan atas makhluk yang bermaksiat kepada Allah. Ingatlah, bahwa kalian akan menyebut pemimpin yang lari dari kezhaliman sebagai pemimpin yang melakukan kemaksiatan, dan ingatlah yang pertama kali melakukan diantara keduanya adalah pemimpin yang zhalim ”.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang adil pun rela turun dari kekhalifahannya setelah mengumumkan awal jabatannya sebagai khalifah, dan meminta kepada para imam untuk memilih khalifah penggantinya. Namun para ulama memilihnya dan seluruh umat membai’atnya. Maka ia pun memberikan kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi, ia memberikan hak setiap orang yang terzhalimi untuk mengadukannya, dan orang-orang yang bebas untuk berbicara dan melontarkan pendapat..

Diceritakan, bahwa Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar As-Shiddiq, salah seorang cucu Abu Bakar Ra yang wafat pada tahun 112 H berkata, ”Sekarang ini orang yang tidak bisa berbicara pun mampu berbicara!”. Inilah gambaran singkat sebuah kisah yang sangat fenomenal sebagai salah satu bukti kebebasan yang ada pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.

Kebebasan mengkritik dan berekspresi, membentuk masyarakat untuk terus berkembang, maju dan kreatif, serta mampu menghilangkan penyakit mencari muka dan kedudukan, yang merupakan penyakit yang sangat berbahaya dan melemahkan pundi-pundi suatu masyarakat dan terus menggerogoti dan menjerumuskan mereka pada kehancuran.

Islam menghormati, menjunjung, dan memberikan jaminan atas kebebasan pribadi, termasuk kebebasan untuk berpindah-pindah. Seseorang berhak untuk pindah dari satu tempat ke tempat lainyya dan keluar atau masuk tanpa ada ikatan apa pun, kecuali jika ada kepentingan negara untuk melarangnya. Seperti larangan berpergian baik keluar atau masuk ketika menyebarnya wabah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Saw, ”Jika kalian (mendengar adanya) wabah di suatu tempat, janganlah kalian mendatanginya dan jika terjadi sesuatu (wabah) di suatu tempat dan kalian berada di dalamnya janganlah kalian keluar untuk lari darinya” (HR. Al-Bukhari).

Diantara kebebasan pribadi yang dilindungi oleh Islam bagi setiap orang di dalam suatu negara adalah hak untuk hidup aman. Maka menurut pandangan syariat Islam, seseorang tidak boleh untuk ditahan kecuali jika ia melakukan tindak kejahatan yang harus dijatuhkan sanksi, karena pada dasarnya seseorang terbebas dari segala dakwaan hingga ada bukti yang memvonis kejahatan tersebut. Oleh karena itu, Islam menjamin privasi tempat tinggal seseorang, dilarang bagi seseorang memasukinya dengan paksa tanpa ada izin kecuali dalam kondisi darurat, sebagaimana firman Allah Swt, ” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat” (An-Nur: 27)

Sumber:
Fikih Kemenangan dan Kejayaan. Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi


0 komentar: