Pemuda adalah harapan. Melalui semangat dan idealismenya, alternatif-alternatif perubahan tersemaikan. Peran perubahan itulah yang menjadikan pemuda sebagai icon di berbagai belahan dunia.
Sejarah mencatat misalnya bagaimana para mahasiswa Hongaria meluapkan kegelisahannya terhadap kenyataan negaranya yang telah menjadi boneka bagi Uni Sovyet. Pada tanggal 22 Oktober 1956, kegelisahan itu dirumuskan dalam sebuah manifesto politik mahasiswa yang berjumlah 14 butir. Keesokan harinya disusul dengan digelarnya demonstrasi akbar di lapangan Yosef Bem. Ternyata dukungan masyarakat amat tinggi terhadap manifesto tersebut. Walaupun akhirnya revolusi damai itu berubah menjadi revolusi berdarah, mereka dibanatai oleh 15.000 polisi rahasia AVH yang didukung oleh tentara Uni Sovyet. Demikian juga revolusi Aljazair Tahun 1954. Menyikapi penjajahan Perancis yang kian memuncak, mahasiswa Aljazair mengorganisasikan diri kedalam dua bentuk. Yaitu Organisasi Militer yang bernama Tentara Pembebasan Nasional dan Organisasi Politik yang bernama Front Pembebasan Nasional. Melalui dua bentuk organisasi itu mahasiswa Aljazair berhasil memperjuangkan kemerdekaan negerinya walau banyak diantara mereka yang menjadi korban dengan siksaan yang keji. Misalnya, Balkacem Zeddour yang dimasukkan kedalam karung dengan pemberat batu, ditenggelamkan ke laut hingga meninggal. Tapi pengorbanan mereka menjadi penyemangat bangsa Aljazair hingga akhirnya merdeka pada 5 Juli 1962.
Hal sama terjadi di Indonesia. Pada 28 Oktober, 79 tahun silam di Jakarta berkumpul berbagai kelompok anak muda yang datang dari berbagai pelosok Indonesia: Maluku, Sulawesi, Jakarta, Sunda, Sumatra, dan lain-lain. Konsolidasi nasional yang mereka lakukan dalam bentuk Sumpah Pemuda 1928 merupakan cita-cita bersama para pemuda Indonesia untuk mengokohkan nasionalisme dan membebaskan bangsanya dari penjajahan. Harmonisasi antara militansi, kemampuan berorganisasi, sensitivitas global telah mendorong mereka untuk selanjutnya meletakkan pijakan dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Metamorfosa gerakan
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, periodesiasi gerakan kaum muda dapat dibagi dalam beberapa angkatan yaitu; angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1980-an, hingga 1990-an. Angkatan 1908 dan 1928 adalah wujud gerakan intelektual muda yang mampu menghidupkan iklim politik waktu itu dengan membangun nasionalisme melalui pikiran dan cita-cita yang digerakkan dalam organisasi pemuda. Secara ideologis, mereka adalah golongan yang kritis adaptif serta sanggup melahirkan ide-ide baru yang dibutuhkan masyarakatnya. Sementara secara kultural, mereka adalah produk sistem nilai yang mengalami proses pembentukan kesadaran dan pematangan identitas dirinya sebagai aktor penting perubahan. Sehingga para kaum tua pun merespon gerakan mereka dengan baik. Sebagai kaum intelektual muda yang berada di tengah masyarakat, dalam banyak kasus, peran kaum muda amat menentukan arah kehidupan bangsanya. Seperti diulas Pareto, Mosca, atau Michel (1982), mereka (kaum muda) adalah kaum elite yang memiliki mobilitas tinggi dan peran sentral dalam menentukan opini dan keputusan mayoritas. Pada gilirannya, kaum elite itulah yang mengontrol berbagai akses atas sumber daya ekonomi dan politik negara.
Jika pemuda angkatan 1908 dan 1928 berhasil memupuk bibit nasionalisme dan menggalang ideologi persatuan nasional. Lantas pemuda angkatan 45 dapat merealisasikan cita-cita besar, yaitu kemerdekaan. Angkatan 66, 74, 80, hingga 98-an hampir bisa dikatakan hanya sebatas kekuatan korektif.
Pascatumbangnya Orde Baru dengan lengsernya Soeharto sekaligus membuka kran demokrasi, nyaris tak ada pembaruan mendasar yang bisa dilakukan pemuda dan gerakan mahasiswa. Mengutip hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (2007), salah satu kendala utama dalam menuntaskan agenda reformasi adalah sulitnya mencari sosok muda tampil mengimbangi peran elite mapan produk kepemimpinan politik Orde Baru. Walaupun kejatuhan rezim Soeharto menjadi momentum bagi para mantan aktivis mahasiswa untuk memasuki dunia politik praktis. Banyak di antara mereka, terutama mantan aktivis duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif, di level nasional maupun daerah. Namun di lembaga legislatif, tercatat bahwa pada pemilu 2004 dari 550 kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hanya 33 orang (6%) saja dari anggota DPR yang berasal dari kaum muda. Tentunya jumlah ini tidak sebanding dengan jumlah pemuda Indonesia yang mencapai sekitar 80,7 juta orang dari total 220 juta rakyat Indonesia. Bahkan tak sedikit dari mereka yang memasuki arena kekuasaan harus mengalami disorientasi visi dan terjebak dalam arus pragmatisme politik.
Salah satu penyebabnya adalah iklim politik yang masih kental akan warna kegiatan ekonomi ’pasar’. Dalam sebuah disertasinya, Akbar tanjung menyentil para politisi dengan mengatakan para elit politik terlalu berorientasi pada kekuasaan. Maka berkembanglah kemudian wacana tentang politik saudagar (pengusaha) atau saudagar yang berpolitik demi ambisi kekuasaan. Bukan rahasia umum bahwasannya uang (kekuatan modal) masih menjadi kebutuhan dan simbol kekuasaan. Tidak mungkin partai politik berjalan tanpa dukungan keuangan yang kuat. Arena politk baru yang dalam wujud ’pasar’ telah terbentuk yang daya penetrasinya telah memasuki wilayah politik dan para elit. Dalam buku The Rise of Capital (1986), Richard Robinson menjelaskan bagaimana pengusaha mengendalikan negara melalui arena politik. Realitas politik itu sesungguhnya adalah wajah lain dari watak kekuasaan Orde Baru yang nepotik, kolutif, dan koruptif. Ketika sikap pragmatisme para politico-business itu bersinerji dengan iklim politik pasar, maka bisa dipastikan dunia politik akan menjadi lawan dari demokrasi.
Persoalannya kemudian, bagaimana menjamin proses transisi politik dari generasi tua ke generasi muda tidak kembali terjebak pada model regenerasi elitis, pragmatis, subjektif, dan fragmentatif? Pertama, kaum muda harus berani merombak watak budaya politik "banalisme" yang menjadikan kekuasaan dan uang sebagai tujuan. Kedua, memperkuat komitmen penegakan hukum dan memfungsikan partai politik dan badan legislatif sebagai arena perjuangan kepentingan rakyat. Ketiga, mendorong birokrasi yang bersih, profesional, dan berorientasi pada pelayanan (good corporate governance). Keempat, mengefektifkan struktur kekuasaan yang mampu menjamin bekerjanya fungsi check and balance di antara lembaga-lembaga negara. Kelima, menumbuhkan etika dan etos berbisnis yang sehat, agar para entrepreneur yang menjadi pejabat publik tidak menjadikan kekuasaan sebagai alat baru bagi proses "akumulasi kapital". Ke depan, kiprah pemuda berlatar aktivis-intelektual-entrepreneur akan makin banyak masuk dalam kekuasaan. Kekhawatiran atas kiprah mereka amat wajar, mengingat iklim perselingkuhan "uang dan kekuasaan" yang dilakoni jenis elite "penguasa-pengusaha" itu kini tengah mendominasi wacana dan praktik politik mutakhir di Indonesia.
Akhirnya, semoga rangkaian sejarah kaum muda bisa meneguhkan kembali sikap patriotik kita semua. Ditengah kenyataan bangsa yang sedang dikepung masalah. Apalagi dengan perilaku yang dipertontonkan oleh para elit dan pejabat kita. Jika dulu orang berlomba-lomba rela dan berani berkorban demi bangsa dan tanah air, kini justru para elit politik dan pejabat berlomba mengorbankan bangsa dan tanah air.
Sumber:
http://www.els.bappenas.go.id/
http://www.suaramerdeka.com/
Hal sama terjadi di Indonesia. Pada 28 Oktober, 79 tahun silam di Jakarta berkumpul berbagai kelompok anak muda yang datang dari berbagai pelosok Indonesia: Maluku, Sulawesi, Jakarta, Sunda, Sumatra, dan lain-lain. Konsolidasi nasional yang mereka lakukan dalam bentuk Sumpah Pemuda 1928 merupakan cita-cita bersama para pemuda Indonesia untuk mengokohkan nasionalisme dan membebaskan bangsanya dari penjajahan. Harmonisasi antara militansi, kemampuan berorganisasi, sensitivitas global telah mendorong mereka untuk selanjutnya meletakkan pijakan dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Metamorfosa gerakan
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, periodesiasi gerakan kaum muda dapat dibagi dalam beberapa angkatan yaitu; angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1980-an, hingga 1990-an. Angkatan 1908 dan 1928 adalah wujud gerakan intelektual muda yang mampu menghidupkan iklim politik waktu itu dengan membangun nasionalisme melalui pikiran dan cita-cita yang digerakkan dalam organisasi pemuda. Secara ideologis, mereka adalah golongan yang kritis adaptif serta sanggup melahirkan ide-ide baru yang dibutuhkan masyarakatnya. Sementara secara kultural, mereka adalah produk sistem nilai yang mengalami proses pembentukan kesadaran dan pematangan identitas dirinya sebagai aktor penting perubahan. Sehingga para kaum tua pun merespon gerakan mereka dengan baik. Sebagai kaum intelektual muda yang berada di tengah masyarakat, dalam banyak kasus, peran kaum muda amat menentukan arah kehidupan bangsanya. Seperti diulas Pareto, Mosca, atau Michel (1982), mereka (kaum muda) adalah kaum elite yang memiliki mobilitas tinggi dan peran sentral dalam menentukan opini dan keputusan mayoritas. Pada gilirannya, kaum elite itulah yang mengontrol berbagai akses atas sumber daya ekonomi dan politik negara.
Jika pemuda angkatan 1908 dan 1928 berhasil memupuk bibit nasionalisme dan menggalang ideologi persatuan nasional. Lantas pemuda angkatan 45 dapat merealisasikan cita-cita besar, yaitu kemerdekaan. Angkatan 66, 74, 80, hingga 98-an hampir bisa dikatakan hanya sebatas kekuatan korektif.
Pascatumbangnya Orde Baru dengan lengsernya Soeharto sekaligus membuka kran demokrasi, nyaris tak ada pembaruan mendasar yang bisa dilakukan pemuda dan gerakan mahasiswa. Mengutip hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (2007), salah satu kendala utama dalam menuntaskan agenda reformasi adalah sulitnya mencari sosok muda tampil mengimbangi peran elite mapan produk kepemimpinan politik Orde Baru. Walaupun kejatuhan rezim Soeharto menjadi momentum bagi para mantan aktivis mahasiswa untuk memasuki dunia politik praktis. Banyak di antara mereka, terutama mantan aktivis duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif, di level nasional maupun daerah. Namun di lembaga legislatif, tercatat bahwa pada pemilu 2004 dari 550 kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hanya 33 orang (6%) saja dari anggota DPR yang berasal dari kaum muda. Tentunya jumlah ini tidak sebanding dengan jumlah pemuda Indonesia yang mencapai sekitar 80,7 juta orang dari total 220 juta rakyat Indonesia. Bahkan tak sedikit dari mereka yang memasuki arena kekuasaan harus mengalami disorientasi visi dan terjebak dalam arus pragmatisme politik.
Salah satu penyebabnya adalah iklim politik yang masih kental akan warna kegiatan ekonomi ’pasar’. Dalam sebuah disertasinya, Akbar tanjung menyentil para politisi dengan mengatakan para elit politik terlalu berorientasi pada kekuasaan. Maka berkembanglah kemudian wacana tentang politik saudagar (pengusaha) atau saudagar yang berpolitik demi ambisi kekuasaan. Bukan rahasia umum bahwasannya uang (kekuatan modal) masih menjadi kebutuhan dan simbol kekuasaan. Tidak mungkin partai politik berjalan tanpa dukungan keuangan yang kuat. Arena politk baru yang dalam wujud ’pasar’ telah terbentuk yang daya penetrasinya telah memasuki wilayah politik dan para elit. Dalam buku The Rise of Capital (1986), Richard Robinson menjelaskan bagaimana pengusaha mengendalikan negara melalui arena politik. Realitas politik itu sesungguhnya adalah wajah lain dari watak kekuasaan Orde Baru yang nepotik, kolutif, dan koruptif. Ketika sikap pragmatisme para politico-business itu bersinerji dengan iklim politik pasar, maka bisa dipastikan dunia politik akan menjadi lawan dari demokrasi.
Persoalannya kemudian, bagaimana menjamin proses transisi politik dari generasi tua ke generasi muda tidak kembali terjebak pada model regenerasi elitis, pragmatis, subjektif, dan fragmentatif? Pertama, kaum muda harus berani merombak watak budaya politik "banalisme" yang menjadikan kekuasaan dan uang sebagai tujuan. Kedua, memperkuat komitmen penegakan hukum dan memfungsikan partai politik dan badan legislatif sebagai arena perjuangan kepentingan rakyat. Ketiga, mendorong birokrasi yang bersih, profesional, dan berorientasi pada pelayanan (good corporate governance). Keempat, mengefektifkan struktur kekuasaan yang mampu menjamin bekerjanya fungsi check and balance di antara lembaga-lembaga negara. Kelima, menumbuhkan etika dan etos berbisnis yang sehat, agar para entrepreneur yang menjadi pejabat publik tidak menjadikan kekuasaan sebagai alat baru bagi proses "akumulasi kapital". Ke depan, kiprah pemuda berlatar aktivis-intelektual-entrepreneur akan makin banyak masuk dalam kekuasaan. Kekhawatiran atas kiprah mereka amat wajar, mengingat iklim perselingkuhan "uang dan kekuasaan" yang dilakoni jenis elite "penguasa-pengusaha" itu kini tengah mendominasi wacana dan praktik politik mutakhir di Indonesia.
Akhirnya, semoga rangkaian sejarah kaum muda bisa meneguhkan kembali sikap patriotik kita semua. Ditengah kenyataan bangsa yang sedang dikepung masalah. Apalagi dengan perilaku yang dipertontonkan oleh para elit dan pejabat kita. Jika dulu orang berlomba-lomba rela dan berani berkorban demi bangsa dan tanah air, kini justru para elit politik dan pejabat berlomba mengorbankan bangsa dan tanah air.
Sumber:
http://www.els.bappenas.go.id/
http://www.suaramerdeka.com/
0 komentar:
Posting Komentar