WHAT'S NEW?
Loading...

Globalisasi, Remaja dan Krisis Budaya

Foto : news.softpedia.com

Gelombang globalisasi telah memaksa negara-negara berkembang untuk mengkapitalisasi aset-aset yang dimilikinya baik dalam bentuk sumber daya alam maupun khasanah kebudayaan yang ada. Timbul kekhawatiran yang menguat, ketika Indonesia yang menjadi bagian dari komunitas dunia harus tegopoh-gopoh menghadapi cepatnya laju perubahan dunia meskipun bangsa ini memiliki perbekalan yang cukup memadai. Tidak jarang, upaya yang dilakukan para nahkoda untuk mengendalikan perahu besar Indonesia dari riak gelombang globalisasi dilakukan dengan pendekatan bahwa segala sesuatu dipandang sebagai ”barang dagangan” yang bisa dijual dan menghasilkan uang. Politik ”jual-jual-an” bak obat cespleng di jaman serba intant. Menjual BUMN, jual kehormatan atau bahkan jual-an nomor urut.


Kekhawatiran itu semakin menjadi-jadi setelah selubung ”stabilitas” yang selama ini menutupi satu demi satu tersingkap. Selubung dalam bentuk kedigdayaan pertumbuhan ekonomi dan ketahanan pangan era Suharto runtuh seketika ketika terjadi resesi sehingga krisis melanda seluruh pelosok dunia. Adalah tahun 1999, tahun penuh hura-hara, krisis dalam berbagai bentuk terjadi dimana-mana. Dalam istilah Jawa, kurun watu saat itu adalah saat-saat yang disebut sebagai Kalabendu. Momentum politik yang dikenal kemudian sebagai era dimulainya reformasi hingga kini masih suram terlihat ”daya magis-nya”. Dari hari ke hari terasa layaknya memasuki labirin panjang yang tak bertepi. Semua serba gelap, tidak ada kepastian, kecuali ketidakpastiaan itu sendiri. Bagaimana kabar saudara kita di Sidoarjo sana ?. Atau saudara-saudara kita yang mengadu nasib di tanah seberang, sebagai penyumbang devisa terbesar, 2 milyar dollar.

Krisis ekonomi hingga politk telah menyeret semuanya termasuk krisis kebudayaan. Krisis kebudayaan sebenarnya telah diwanti-wanti oleh para pendiri negeri ini. Dimulai dengan politk etis-nya Belanda hingga globalisasi yang telah menyurutkan ukuran dunia sesungguhnya. Roland Robertson (sosiolog), pernah mengemukakan pendapatnya bahwa globalisasi sebagai sebuah konsep mengarah, baik kepada pemampatan dunia maupun intensifikasi kesadaran dunia. Artinya bahwa globalisasi menunjukkan tidak sekedar hilangnya ”batas teritori” dengan semakin mesranya relasi antar bangsa, tujuan politik maupun ekonomi tapi juga menciptakan sebuah tawaran cara pandang baru bahwa dunia adalah tempat yang nyata dan otentik untuk ditinggali daripada sebagai tempat abstrak untuk hidup. Namun malangnya, tidak sedikit negara-negara yang telah merasa dekat dalam hubungannya dengan komunitas dunia baik kualitas dan kuantitas dilain sisi mereka mengalami keterasingan budaya.

Homogenisasi pasar dunia melalui globalisasi tanpa disadari telah mencerabut rasa kebanggaan dalam berbangsa dan bernegara. Ciri khas dan keutamaan yang dimiliki setiap bangsa tereliminasi dengan konfigurasi kehidupan global yang cenderung miopik. Lihatlah remaja-remaja kita, Hollywood di seberang sana seakan dekat di pelupuk mata. Itu bukan dikarenakan Hollywood pindah ke Ciledug, tapi pola dan gaya hidup remaja kita yang copy-paste habis remaja-remaja Amerika. Amerika yang dianggap sebagai contoh bagaimana peradaban masayarakt modern menjelma walaupun individu dihargai sebatas apa dan berapa yang dimiliki. Popularitas, kekuasaan dan uang memiliki posisi yang absoult. Dan hal ini secara massif disebarluaskan ke seantero penjuru dunia melalui berbagai medium dengan pola ekspansi yang lembut. Tidak jarang nilai-nilai luhur suatu bangsa yang pada awalnya bertentangan dengan nilai-nilai modern yang hedonis dan materalistis, lama kelamaan akan terkompromikan dan akhirnya diterima sebagai sebuah budaya baru yang dianggap lebih mencerahkan. Karena memang, globalisasi seperti yang pernah diungkapkan oleh David Yafee, merupakan sebuah preskripsi yang meliputi liberlisasi pasar global dan pasar nasional dengan asumsi bahwa arus perdagangan bebas, modal dan informasi termasuk budaya baru akan menciptakan hasil yang terbaik bagi pertumbuhan dan kemakmuran manusia. 

Peradaban Barat dan Amerika telah mentranformasikan suatu masyarakat mekanis yang didasarkan pada materi dan konsumerisme. Mimpi menjadi bintang popular dan gemerlap kemewahan merupakan mitos masyarakat konsumeris. Misalnya adalah ajang kontes idol, dalam waktu singkat telah menjadi magnet bagi remaja yang ingin terkenal dengan keringat minimal. Acara-acara sejenis sudah menular ke berberapa negara seperti India, Filipina, Malaysia, Singapura, Vietnam termasuk Indonesia dengan beragam variannya.

Ajang atau kontes idol-idol-an adalah budaya baru anak muda yang kemudian termasuk sebagai budaya massa. Kuntowijoyo dalam sebuah tulisannya mengemukakan bahwa ciri-ciri budaya massa sekurang-kurangnya meliputi; (1) Obyektif, artinya para remaja (kontestan) hanya berperan sebagai sasaran yang tidak memiliki peran dalam pembentukan suatu simbol budaya. Mereka tidak lebih sekedar objek industrialisasi dan komersialisasi (2) budaya massa cenderung mengalienasi penganutnya dari realitas hidup dan identitas hakiki dirinya sendiri (3) budaya massa seringkali diterima karena kemudahan, kesenangan, dan mitos-mitos yang dimilikinya. Sehingga, ia seringkali diterima tanpa adanya proses kritisasi dalam diri. 

Realitas kehidupan berbudaya remaja kita yang rentan terhadap invasi budaya luar sungguh tidak bisa diandalkan untuk menghadapi kehidupan yang sudah meng-global. Remaja-remaja kita sudah begitu dekat dengan budaya konsumtif sehingga tidak mengherankan budaya yang demikian mendorong perilaku korup. Fenomena ini harus ditangani segera dengan melibatkan berbagai pihak, yaitu dengan menginternalisasikan karakter bangsa melalui pendidikan yang humanis agar banga ini survive di era global. Oleh karenanya, menurut Warsono dalam tulisannya “Globalisasi dan Perubahan Budaya” remaja-remaja kita harus segera meninggalkan paradigma berpikir diagonalistik menjadi berpikir alternatif. Karena dengan berpikir alternatif, kita melihat perbedaan itu bukan dari sudut pandang kalah-menang, tenar-tidak terkenal tetapi hanya sebagai pilihan-pilihan (alternatif). Dengan paradigma berpikir demikian, diharapkan remaja kita bisa terhindar dari silang sengkarut konflik pribadi yang tidak menutup kemungkinan malah bisa menjadi pemicu konflik sosial.

1 komentar:

Alfisyahrin mengatakan...

Analisis yang cukup bagus mas. Tapi sayang, solusi yang ditawarkan masih kurang applicable dan kurang jelas bagaimana teknisnya.

Misalnya. Pendidikan humanis itu yang seperti apa? Lalu bagaimana cara efektif untuk mengubah paradigma berpikir para remaja?