WHAT'S NEW?
Loading...
Jangan sungkan tertawa ketika menikmati tontonan ketoprak atau sandiwara. Tapi jangan terlalu serius memaknai setiap lakon adegannnya. Karena, tidak mudah untuk menukil arti dibalik kerlingan mata sang pemain utama. Gestur tubuh para cameo ataupun kalimat-kalimat langit sang penulis skenario.


“Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah”. Lirik salah satu lagu rock yang top punya. Tapal-tapal sejatinya tak harus ada dalam sebuah sandiwara, antara pemain utama, sutradara hingga staf rumah tangga. Tapi nyatanya ada ketidakadilan. Siapa peduli !, dibalik kesuksesan sebuah perhelatan, hajat besar. Ada saham besar yang menentukan dari sebuah perjalanan dari mereka yang selama ini termarjinalkan.

Walaupun kemudian menjadi tontonan romantik bak virus yang menjangkit. Dari top eksekutif sampai ibu-ibu rumah tangga. Dibuat demam bak terserang Malaria. Hebat benar tapi kurang ajar !. Tunggu dulu, karena belum saatnya kau keluar. Muncul dipermukaan atau sibuk dikerubungi wartawan.

Bersandiwaralah, selama layar masih mengembang. Tidak ada batasan babak. Sandiwara versi kami adalah sandiwara tanpa tata krama. Semuanya dijamin ”halal”. Segala macam titipan lakon, isme-isme pasti akan dipentaskan. Tapi. Dibalik batu ada udang tentunya. Selama umpan sang udang lancar, batu akan tetap berdiri kekar. Karena sandiwara adalah politik. Dan politik, that’s all about money. Politk adalah komoditas. Mendongkrak popularitas. Berkawan karib. Menjual mimpi. Mencukur harapan. Dan menimbun investasi.

Berkawanlah dengan aktor utama. Automaticly, gengsi akan mendekati. Lembaran rupiah dapat beranak pinak. Tidak perlu dierami. Karena ia bisa datang sendiri. Ajaib !. Memang. Karena semua berbicara. Era terbuka. Omong kosong ideologi. Itu hanya akan mengkebiri, bagi kami untuk memenuhi pundi-pundi.


Patal Senayan, Lailtul Qadr dalam penantian
Selepas shalat Maghrib di teras Musholla, saya sempat nimbrung dalam obrolan yang cukup menarik seputar permasalahan Pemilu 2009. Topik besar yang didiskusikan adalah mengapa partai politik sedemikian rupa bernafsu merekrut artis untuk dijadikan calon legislatif. Sang teman dengan enteng menanggapi, “jangankan artis, hal-hal yang masih bersifat klenik pun, demi sebuah kekuasaan, sebagian partai politik tidak sungkan untuk menjamahnya”.
Teman yang lain menimpali, “tidak usah heran lah, kita kan dididik dengan penddikan modern untuk semua hal kecuali pola pikir, makanya walaupun pakar bejibun tapi pola pikirnya masih kampungan”.

Artis dan hal-hal yang menyerempet ke hal-hal klenik menjelang pesta demokrasi oleh sebagian partai politik sering dijadikan “alat” untuk menggapai kemenangan. Dalam rapat akbar sebuah kampanye partai politik, berderet artis beken menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk menghadirinya. Bermula hanya sekedar figuran dalam pesta demokrasi, sekarang beberapa artis yang sudah ngetop bahkan yang sudah “sepi order” menjelma menjadi pemain utama, calon legislatif. Jika tanpa perhitungan yang akurat dan tepat. Pola rekrutmen instant tersebut akan membuat kualitas sebuah partai politk akan memudar . Seorang Legislator tidak cukup hanya dikenal oleh masyarakat tapi ia harus bisa mengejewantahkan kehendak rakyat. Beberapa artis yang sekarang sudah “terhormat” pun nyaris tak terdengar, apalagi untuk membela korban Lapindo yang “traffic’ kepentingannya sungguh luar biasa.

Jangankan hanya sekedar kader atau simpatisan, para pemimpin partai dan anggota dewan-nya pun kelihatan gagap bersikap untuk membela kepentingan rakyat”, ujar ujo (inisiator gerakan golput di kelurahan saya) memotong se-enaknya.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa ”hasrat kekuasaan” telah berobar-kobar di tubuh partai. Dan bahayanya, hal ini akan mendorong untuk melakukan apa saja yang dia persepsi akan mampu merengkuh kekuasaan, karena ”hasrat kekuasaan” sudah menyala-nyala.

Inilah gambaran calon wakil-wakil kita, ketika kampanye mereka menggoda dan meryau kita semua tapi setelah melenggang ke Senayan, mereka serempak terserang penyakit lupa, lupa dengan semua kecap jualannya”. Mas Sigit menimpali (mantan ”relawan” salah satu partai terbesar di kelurahan yang merasa dikecewakan.

eh, ngomong-ngomong akang sudah ada yang ngelamar belom?”. tanya CR7, yang sekarang wara wiri menjajakan diri menjadi em-ci dalam setiap kegiatan RT, tersebar isu bahwa dia bersemangat melakukan itu karena punya ambisi untuk menjadi Ketua Pemuda yang ke-7. Dan untuk itu, ia selalu menggunkan inisial CR7, yang memiliki arti Cecep Rusmana untuk ketua Paguyuban Pemuda yang ke-7 jadi bukan karena nge-fans dengan bintang MU Christiano Ronaldo yang menggunakan kaos tim dengan nomer punggung 7 lho....

Ga ada, tapi saya sempat ngelamar ke POK tapi di tolak karena ditakutkan nanti saya korupsi!”.

“POK, partai apa-an tuh kang?, baru denger”.

POK itu Partai Orang Kaya, anggotanya mesti orang berduit alias kaya. Katanya sich mesti kaya dulu biar nanti kalo sudah jadi anggota dewan ga ngobyek proyek. Jadi khusyu aja memperjuangkan rakyat, gitu katanya....

Ada duka menyala-nyala di Sabah. Kecewa dan marah telah membuncah. Apa soal perkaranya saudara ?. Telah dibakarkah panji kebesaran negeri jiran oleh saudara tuanya ?. Atau masih tersisa perselisihan batas kedaulatan negara ?. Tidak, bukan. Lantas apa gerangan ?

Ada empat ratus anak tenaga kerja indonesia di Sabah. Terbengkalai nasibnya oleh negara. Dipaksa terus berpuasa. Karena gaji mamak perbulan tidak seberapa.

Ini semua tentu bukan maunya. Ingin mereka adalah layaknya bak anak anak tanggung kota. Pagi bersekolah. Bermain-main di saat senja. Menjelang tidur Bapak bercerita. Semoga.
Kemerdekaan Indonesia ke-63 telah disambut gegap gempita oleh seluruh lapisan masyarakat. Merdeka yang berasal dari kata “Mahardika” (Sansekerta) yang memiliki makna ‘sakral’, ‘bijak’, atau terpelajar, kata tersebut dalam bahsa Jawa kuno sering dipakai untuk merujuk pada “orang terpelajar” atau “bikhu Buddha”, yakni seseorang yang memiliki status sosial istimewa (Steenbrink). Maka, dengan merdeka, orang-orang dari lapisan masyarakat termasuk artis di dalamnya, memiliki harapan sama, menuntut perlakuan sama bahkan mimpi yang sama. Menegakkan kembali wajah bangsa ini ditengah pergaulan internasional. Mungkin itulah semangat yang melandasi para artis yang berbondong-bondong nyaleg. Sebuah cita-cita yang mulia walaupun terkesan klise.


Untuk Pemilu 2009 nanti, beberapa partai politik sudah membidik kalangan artis atau selebritis menjadi calon anggota legislatif. Sebuah pertaruhan sekaligus tantangan dan pekerjaan berat bagi partai politik. Sebab pasca reformasi, keberadaan partai politik menjadi salah satu institusi yang penting karena diyakini sebagai instrumen yang strategis bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Ditengah fenomena deparpolisasi dan berbagai reaksi keras terhadap anomali politisi (korupsi, pelecehan seksual), langkah partai politik mencalonkan para artis oleh para pengamat politik dianggap ibarat menggali kubur sendiri.

Tingkat penerimaan publik terhadap artis yang tinggi tidak cukup untuk menciptakan iklim demokrasi yang baik di era keterbukaan sekarang ini. Partai politik yang akuntabel dan profesional dengan diisi oleh orang-orang yang berkualitaslah yang nantinya mampu mengagregasi kepentingan publik. Pertanyaannya apakah mereka (artis) memiliki kemampuan untuk menjalankan fungsi wakil rakyat atau hanya sebagai pengumpul suara (vote getter).

Artis dan Parpol
Perkara artis terjun sebagai anggota legislaif sebenarnya sudah dimulai sejak zaman orde baru. Tercatat nama-nama seperti Rhoma Irama (Utusan Golongan) periode 1992-2007, Rano Karno (Partai Gokar) periode 1997-1999. Untuk periode 1999-2004 Sophan Sophian dan Muhammad Guruh Irianto Sukarno Putra (PDI-P). Baru ketika periode 2004-2009, secara kuantitatif, artis yang berkantor di Senayan mengalami kenaikan walaupun secara kualitatif tidak lebih dari pendahulunya. Mereka tersebar di berbagai partai politik, Adjie Massaid, Angelina Sondakh, pelawak Qomar (Demokrat), Dede Yusuf (PAN), Deddy Soetomo, Marissa Haque (PDI-P).


Partai politik sejatinya bukan "mesin" penguasa sehingga kepentingan ekspansif partai tidak sekedar diarahkan untuk kepentingan pelanggengan kekuasaan. Secara normatif, setidaknya ada tiga fungsi utama partai, yaitu fungsi pendidikan politik, rekrutmen politik, dan fungsi kekuasaan politik (merebut dan mempertahankan). Intinya semua fungsi partai politik diarahkan dalam upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan yang diperolehnya. Dengan menguasai lembaga-lembaga politik, partai politik (idealnya) dapat mewujudkan visi dan misiiya ke dalam kebijakan publik. Tentu saja di dalam visi dan misi partai terangkum tujuan untuk mensejahterakan rakyat. Namun gagasan ideal yang terangkum dalam berbagai fungsi partai politik tersebut, ternyata terkendala dengan kondisi internal partai yang belum baik. Dan itu jelas terlihat dalam bentuk kaderisasi yang tidak simultan. Rekrutmen instant artis sebagai caleg adalah buktinya.

Artis dengan segala daya pesonanya adalah magnitude. Mereka oleh sebagian partai politik diyakini mampu menarik simpatik publik karena faktor ketenaran dan paras rupawan. Siapa yang tidak mengenal Wulan Guritno, tampang artis blesteran ini sudah wara-wiri di televisi, apakah sebagai model iklan atau pun bintang Sinetron. Dalam politik, diakui bahwa penampilan yang menawan dan mempesona ternyata mampu menggerakkan simpul-simpul keinginan sekaligus mematikan simpul-simpul nalar. Terpilihnya pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat tidak lepas dari faktor tersebut. Diketahui ternyata bahwa, salah satu penentu kemenangan pasangan muda tersebut adalah pemilih terbesar dari kalangan perempuan (ibu-ibu) yang nge-fans berat akan kegantengan “Si Macan”. Oleh kalangan ahli komunikasi, surplus modal yang dimiliki para artis tersebut akbiat dari mekanisme populisme media yang mengangkat tinggi sosok artis dari permukaan sehingga mampu menciptakan pendapat umum sambil menekan di bawah permukaan kebenaran yang sebenarnya. Jadi, kita sepakat bahwa sosok seperti Wulan Guritno cantik dan mempesona tapi apakah kita sepakat dia mampu mengartikulasikan setiap kepentingan politik dan memperjuangkannya ?.

Diakui atau tidak, fenomena pola rekrutmen politik pragmatis dengan menempatkan artis sebagai caleg bisa membuat kader yang sudah lama membesarkan partai akan merasa diabaikan. Konflik internal sudah pasti tidak dapat terelakkan. Kalau pun sebuah partai politik “terpaksa” menempatkan artis dalam daftar caleg, maka sudah sepatutnya partai politik tersebut membuat kriteria legislator yang memenuhi kualifikasi karena pada akhirnya akan berdampak terhadap nama baik partai politik dan kualitas Dewan Perwakilan Rakyat. Akhirnya, partai politik sudah menjalankan bagaimana bentuk permainannya, seperti yang diungkapkan oleh Michel Foucault, bahwa, “permainan tanda menentukan tempat berlabuhnya kekuasaan”.