WHAT'S NEW?
Loading...

Menutup Celah Korupsi di KPU

Aura traumatis kasus korupsi Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2004 ternyata masih mendera. Hal itu diakui Abdul Hafiz Anshary dalam acara pelantikan Wakil Sekjen KPU dan jajaran pejabat struktural eselon II (Kompas, 20/07/2007). Kekhawatiran sang ketua cukup beralasan, selain anggota KPU sekarang oleh sebagian kalangan dianggap kurang berpengalaman dan masih dipertanyakan integritasnya, faktor upaya penindakan pelaku korupsi oleh KPK yang akhir-akhir ini telah menyeret nama-nama beken membuat pos-pos strategis di KPU “kurang diminati”.


Dulu, publik memiliki ekpektasi besar ketika KPU (termasuk KPUD Banten) di isi oleh para cendikiawan seperti Nazaruddin Syamsuddin Cs. Ekpektasi dalam ilmu Matematika diartikan sebagai suatu nilai harapan terhadap suatu peubah (kejadian) tertentu yang diperhitungkan berdasarkan semua kemungkinan (peluang) yang akan terjadi terhadap peubah tersebut. Jika para Cendikiawan itu sebagai peubah yang memiliki peluang untuk melaksanakan jabatannya di KPU dengan bersih maka wajar jika nilai ekpektasi masyarakat terhadap para Cendikiawan tersebut tinggi.

Hal ini cukup beralasan karena memenag cendikiawan oleh Julien Benda dalam bukunya Pengkhianatan kaum cendekiawan (Alih bahasa oleh Winarsih P), dipandang sebagai golongan yang mendedikasikan hidupnya dalam pencarian kebenaran. Cendekiawan dipandang bukanlah orang yang mengejar kepentingan duniawi. Cendekiawan tidak tergoda oleh nikmatnya kekayaan dan manisnya kekuasaan. Justru sebaliknya, mereka mencari kebenaran di dalam kesederhanaan. Walaupun akhirnya seperti yang kita saksikan, para cendekiawan itu akhirnya berselingkuh dengan para pedagang (baca-pengusaha) yang oleh Julien Benda dimasukkan ke dalam golongan yang sebenarnya berada di bawah cendikiawan. Pemilu 2009 nanti adalah ajang pertaruhan nama KPU (Provinsi, Kab/Kota) sebagai penyelenggara apakah nanti Pemilu akan kembali diwarnai dengan korupsi.


Dua Lubang Itu
Dalam beberapa kasus penyalahgunaan jabatan dan wewenang yang dilakukan oleh KPU (Provinsi, Kab/Kota), Djayus dalam tulisannya, Korupsi Dalam Sistem Pemilu di Indonesia, mengidentifikasi setidak-tidaknya ada dua peluang terjadinya korupsi. Yaitu melalui proses administrasi dan pengadaan logistik/barang dan jasa. Dijelaskan oleh Djayus bahwa dalam konteks pendaftaran peserta pemilihan umum seperti DPR, DPD dan DPRD, maupun pemilihan Presiden dan Wakil, KPU (Provinsi, Kab/Kota) sebagaimana diatur dalam perundang-undangannya, KPU memiliki kewenangan untuk menolak atau menerima dan memverifikasi peserta pemilihan umum. Memperhatikan proses administrasi sebagaimana terdapat pada lembaga tersebut, sangatlah dimungkinkan adanya rangsangan peluang untuk meloloskan peserta pemilihan DPR, DPRD atau bahkan DPD yang proses pendaftarannya sudah mulai dilaksankan sejak 27 Juni 2008.

Lebih lanjut Djayus menjelaskan bahwa peluang korupsi dalam pendaftran dapat berupa suap atau sogok, uang kopi, uang stempel, uang pelancar untuk verifikasi pendukung calon DPD baik dalam bentuk uang tunai maupun benda. Dalam kesempatan seperti ini sang pejabat melakukan sesuatu dengan meminta langsung bahkan dapat memberi pengecualian dari peraturan yang berlaku, atau bahkan membuat peraturan yang menguntungkan bagi pemberi. Dan sudah barang tentu dengan kompensasi-kompensasi yang disepakati. Hal ini sangat mungkin terjadi karena KPU yang mempunyai kewenangan membuat peraturan pelaksana dari peraturan tentang pemilihan umum.

Lalu peluang yang kedua menurut Djayus adalah saat dilakukannya pengadaan barang dan jasa. Seperti yang terjadi pada kasus ketua dan anggota KPU pada Pemilu tahun 2004 yang menyeret Nazaruddin Cs atau di Banten sendiri yang melibatkan Mantan Ketua KPUD dan mantan Ketua Pengadaan Barang dan Jasa KPUD Banten yang telah terbukti menyelewengkan dana Pengadaan logistik Pilkada Banten 2006 yang merugikan negara sebesar Rp 984,4 juta. Walaupun dengan mekanisme prosedural sesuai dengan sistem tender, kerawanan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa cukup besar. Bukan rahasia lagi bahwa pemenang tender bisa di set up, sehingga para peserta tender berusaha dengan berbagai cara untuk memenangkan tender. Bentuknya beragam, dapat berupa pemberian fee yang berupa uang tunai atau karena permintaan secara terus terang oleh pihak anggota KPU sendiri.

Pertaruhan Integritas
Korupsi sebenarnya terjadi karena bertemunya “permintaan” dan “persediaan” dan ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan. Jawad Rachami mengilustrasikan korupsi akan tetap menggejala ketika ”permintaan dan persediaan” selalu berbulan madu. Permintaan menurut Jawad Rachmi adalah mereka yang berada di posisi yang berpengaruh dan berwenang yang menyediakan manfaat dan atau akses bagi keuntungan pribadi, ”permintaan” ini mewakili kalangan pejabat. Sedangkan ”persediaan” adalah mereka-mereka yang mencari keuntungan dan atau akses dengan cara menyediakan intensif dalam bentuk uang atau barang, ”persediaan” ini mewakili kalangan swasta atau pihak yang memiliki kepentingan. Semakin kuat kekuasaan, maka semakin besar pula godaan dan peluang untuk korupsi.

Oleh karenanya integritas para anggota KPU (Provinsi, Kab/Kota) dipertaruhkan ditengah birokrasi kita yang masih cenderung korup (corrupt culture). Harapan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilihan yang jujur, adil dan bebas korupsi harus dijawab oleh para angota KPU (Provinsi, Kab/Kota) dengan menunjukkan profesionlaitas dan kejujuran. Walaupun masyarakat memiliki keterbatasan dalam mengawasi kinerja KPU sesungguhnya kelak ada pengadilan dimana penegakkan hukum menjadi sesuatu yang absolut. “Hai kaum muslim, siapa saja di antara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami (menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Lalu, kecurangannya itu akan ia bawa pada hari kiamat nanti… . Siapa yang kami beri tugas hendaknya ia menyampaikan hasilnya, sedikit atau banyak. Apa yang diberikan kepadanya dari hasil itu hendaknya ia terima, dan apa yang tidak diberikan janganlah diambil.” (HR. Abu Dawud). Wallahu’alam.

0 komentar: